Dalam khazanah
kebudayaan masyarakat tatar Sunda, maung atau harimau merupakan simbol yang
tidak asing lagi. Beberapa hal yang berkaitan dengan kebudayaan dan eksistensi
masyarakat Sunda dikorelasikan dengan simbol maung, baik simbol verbal maupun
non-verbal seperti nama daerah (Cimacan), simbol Komando Daerah Militer (Kodam)
Siliwangi, hingga julukan bagi klub sepak bola kebanggaan warga kota Bandung
(Persib) yang sering dijuluki Maung Bandung. Lantas, bagaimana asal-muasal
melekatnya simbol maung pada masyarakat Sunda? Apa makna sesungguhnya dari
simbol hewan karnivora tersebut?
Maung dan Legenda Siliwangi
Dunia keilmuan
Antropologi mengenal teori sistem simbol yang diintrodusir oleh Clifford
Geertz, seorang Antropolog Amerika. Dalam bukunya yang berjudul Tafsir
Kebudayaan (1992), Geertz menguraikan makna dibalik sistem simbol yang ada pada
suatu kebudayaan. Antropolog yang terkenal di tanah air melalui karyanya
“Religion of Java” itu menyatakan bahwa sistem simbol merefleksikan kebudayaan
tertentu. Jadi, bila ingin menginterpretasi sebuah kebudayaan maka dapat
dilakukan dengan menafsirkan sistem simbolnya.
Sistem simbol sendiri
merupakan salah satu dari tiga unsur pembentuk kebudayaan. Kedua unsur lainnya
adalah sistem nilai dan sistem pengetahuan. Menurut Geertz, relasi dari ketiga
sistem tersebut adalah sistem makna (System of Meaning) yang berfungsi menginterpretasikan
simbol dan, pada akhirnya, dapat menangkap sistem nilai dan pengetahuan dalam
suatu kebudayaan.
Simbol maung dalam
masyarakat Sunda terkait erat dengan legenda menghilangnya (nga-hyang) Prabu
Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran yang dipimpinnya pasca penyerbuan pasukan
Islam Banten dan Cirebon yang juga dipimpin oleh keturunan Prabu Siliwangi.
Konon, untuk menghindari pertumpahan darah dengan anak cucunya yang telah
memeluk Islam, Prabu Siliwangi beserta para pengikutnya yang masih setia memilih
untuk tapadrawa di hutan sebelum akhirnyanga-hyang. Berdasarkan kepercayaan
yang hidup di sebagian masyarakat Sunda, sebelum Prabu Siliwangi nga-hyang
bersama para pengikutnya, beliau meninggalkan pesan atau wangsit yang
dikemudian hari dikenal sebagai “wangsit siliwangi”.
Salah
satu bunyi wangsit yang populer di kalangan masyarakat Sunda adalah: “Lamun
aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung”[1]. Ada hal
menarik berkaitan dengan kata-kata dalam wangsit tersebut: kata-kata itu termasuk
kategori bahasa sunda yang kasar bila merujuk pada strata bahasa yang digunakan
oleh masyarakat Sunda Priangan (Undak Usuk Basa). Mengapa seorang raja berucap
dalam bahasa yang tergolong “kasar”? Bukti sejarah menunjukkan bahwa kemunculan
undak usuk basa dalam masyarakat Sunda terjadi karena adanya hegemoni budaya
dan politik Mataram yang memang kental nuansa feodal, dan itu baru terjadi pada
abad 17—beberapa sekian abad pasca Prabu Siliwangi tiada atau nga-hyang. Namun
tinjauan historis tersebut bukanlah bertujuan melegitimasi wangsit itu sebagai
kenyataan sejarah. Bagaimanapun, masih banyak kalangan yang mempertanyakan
validitas dari wangsit itu sebagai fakta sejarah, termasuk penulis sendiri.
Wangsit, yang bagi
sebagian masyarakat Sunda itu sarat dengan filosofi kehidupan, menjadi semacam
keyakinan bahwa Prabu Siliwangi telah bermetamorfosa menjadi maung (harimau)
setelah tapadrawa (bertapa hingga akhir hidup) di hutan belantara. Yang menjadi
pertanyaan besar: apakah memang pernyataan atau wangsit Siliwangi itu bermakna
sebenarnya ataukah hanya kiasan? Realitasnya, hingga kini masih banyak
masyarakat Sunda (bahkan juga yang non-Sunda) meyakini metamorfosa Prabu
Siliwangi menjadi harimau. Selain itu, wangsit tersebut juga menjadi pedoman
hidup bagi sebagian orang Sunda yang menganggap sifat-sifat maung seperti
pemberani dan tegas, namun sangat menyayangi keluarga sebagai lelaku yang harus
dijalani dalam kehidupan nyata.
Dari sini kita melihat
terungkapnya sistem nilai dari simbol maung dalam masyarakat Sunda. Ternyata
maung yang memiliki sifat-sifat seperti yang telah disebutkan sebelumnya
menyimpan suatu tata nilai yang terdapat pada kebudayaan masyarakat Sunda,
khususnya yang berkaitan dengan aspek perilaku (behaviour).
Kisah lain yang
berkaitan dengan menjelmanya Prabu Siliwangi menjadi harimau adalah legenda
hutan Sancang atau leuweung Sancang di Kabupaten Garut. Konon di hutan inilah
Prabu Siliwangi beserta para loyalisnya menjelma menjadi harimau atau maung.
Proses penjelmaannya pun terdapat dalam beragam versi. Seperti yang telah
disinggung sebelumnya, ada yang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi menjelma
menjadi maung setelah menjalani tapadrawa. Tetapi ada pula sebagian masyarakat
Sunda yang berkeyakinan bila Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi
harimau karena keteguhan pendirian mereka untuk tidak memeluk agama Islam.
Menurut kisah tersebut, Prabu Siliwangi menolak bujukan putranya yang telah
menjadi Muslim, Kian Santang, untuk turut memeluk agama Islam. Keteguhan sikap
itu yang mendorong penjelmaan Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi
maung. Akhirnya, Prabu Siliwangi pun berubah menjadi harimau putih, sedangkan
para pengikutnya menjelma menjadi harimau loreng.
Hingga kini kisah
harimau putih sebagai penjelmaan Siliwangi itu masih dipercayai kebenarannya
oleh masyarakat di sekitar hutan Sancang. Bahkan, kisah ini menjadi semacam
kearifan lokal (local wisdom). Menurut masyarakat di sekitar hutan, bila ada
pengunjung hutan yang berperilaku buruk dan merusak kondisi ekologis hutan,
maka ia akan “berhadapan” dengan harimau putih yang tak lain adalah Prabu
Siliwangi. Tidak masuk akal memang, namun di sisi lain, hal demikian dapat
dipandang sebagai sistem pengetahuan masyarakat yang berhubungan dengan
ekologi. Masyarakat leuweung Sancang telah menyadari arti pentingnya
keseimbangan ekosistem kehutanan, sehingga diperlukan instrumen pengendali
perilaku manusia yang seringkali berhasrat merusak alam. Dan mitos harimau
putih jelmaan Siliwangi lah yang menjadi instrumen kontrol sosial tersebut.
Namun, serangkaian
kisah yang mendeskripsikan korelasi antara Prabu Siliwangi dengan mitos maung
itu tetap saja menyisakan pertanyaan besar, apakah itu semua merupakan fakta
sejarah? Siapa Prabu Siliwangi sebenarnya dan darimanakah mitos maung itu
muncul pertama kali?
Kekeliruan Tafsir
Bila kita telusuri
secara mendalam, niscaya tidak akan ditemukan bukti sejarah yang menghubungkan
Prabu Siliwangi atau Kerajaan Pajajaran dengan simbol harimau. Adapun yang
mengatakan bahwa harimau pernah menjadi simbol Pajajaran adalah salah satu
tokoh Sunda sekaligus orang dekat Otto Iskandardinata (Pahlawan Nasional),
Dadang Ibnu. Tetapi, lagi-lagi, tidak ada bukti sejarah Sunda yang dapat
memperkuat hipotesa ini, baik itu Carita Parahyangan, Siksakanda Karesian,
ataupun Wangsakerta. Bahkan mengenai lambang Kerajaan Pajajaran pun masih
debatable, dikarenakan ada beragam versi lain yang mengemuka menyangkut lambang
Pajajaran.[2]
Problem lain yang
muncul berkaitan dengan kebenaran sejarah “maung Siliwangi” tersebut ialah
rentang waktu yang cukup jauh antara masa ketika Prabu Siliwangi hidup dan
memerintah dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran yang dalam mitos maung berakhir
dengan penjelmaan Siliwangi dan para pengikut Pajajaran menjadi harimau di
hutan Sancang. Penting untuk diketahui bahwa secara etimologis, Siliwangi, yang
terdiri dari dua suku kata yaitu Silih (pengganti) dan Wangi, bermakna sebagai
pengganti Prabu Wangi. Menurut para pujangga Sunda di masa lampau, Prabu Wangi
merupakan julukan bagi Prabu Niskala Wastukancana yang berkuasa di Kerajaan
Sunda-Galuh (ketika itu belum bernama Pajajaran) pada tahun 1371-1475. Lalu,
nama Siliwangi yang berarti pengganti Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu
Jayadewata, cucu Prabu Wastukancana. Prabu Jayadewata yang berkuasa pada
periode 1482-1521 dianggap mewarisi kebesaran Wastukancana oleh karena berhasil
mempersatukan kembali Sunda-Galuh dalam satu naungan kerajaan Pajajaran.[3]
Sebelum Prabu Jayadewata berkuasa, Kerajaan Sunda-Galuh sempat terpecah. Putra
Wastukancana (sekaligus ayah Prabu Jayadewata), Prabu Dewa Niskala, hanya
menjadi penguasa kerajaan Galuh.
Dipersatukannya
kembali Sunda dan Galuh oleh Jayadewata, membuat beliau dipandang mewarisi
kebesaran kakeknya, Prabu Wastukancana alias Prabu Wangi. Maka, para sastrawan
atau pujangga Sunda ketika itu memberikan gelar Siliwangi bagi Prabu
Jayadewata. Siliwangi memiliki arti pengganti atau pewaris Prabu Wangi. Jadi,
raja Sunda Pajajaran yang dimaksud dalam sejarah sebagai Prabu Siliwangi adalah
Prabu Jayadewata yang berkuasa dari tahun 1482-1521.
Lalu kapan sebenarnya
Kerajaan Pajajaran runtuh? Apakah pada masa Prabu Jayadewata atau Siliwangi?
Ternyata, sejarah mencatat ada lima raja lagi yang memerintah sepeninggal Prabu
Jayadewata.[4] Berikut ini periodisasi penerintahan raja-raja Pajajaran pasca
wafatnya Jayadewata alias Siliwangi :
1.) Prabu Surawisesa
(1521-1535)
2.) Prabu Ratu Dewata
(1535-1543)
3.) Ratu Sakti
(1543-1551)
4.) Prabu Nilakendra
(1551-1567)
5.) Prabu Raga Mulya
(1567-1579)
Pada masa pemerintahan
Raga Mulya lah, tepatnya tahun 1579, Kerajaan Pajajaran mengalami kehancuran
akibat serangan pasukan Kesultanan Banten yang dipimpin Maulana Yusuf.[5]
Peristiwa tersebut tercatat dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III
sarga I halaman 219, sebagai berikut :
Pajajaran sirna ing
bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa punjul siki ikang cakakala.
Artinya :
Pajajaran lenyap dari
muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka atau tanggal 8
Mei 1579 M.
Kemudian bagaimana
nasib Prabu Mulya? Sumber yang sama menyatakan bahwa Prabu Raga Mulya beserta para
pengikutnya yang setia tewas dalam pertempuran mempertahankan ibukota Pajajaran
yang ketika itu telah berpindah ke Pulasari, kawasan Pandeglang sekarang. Fakta
sejarah tersebut menunjukkan bahwa keruntuhan kerajaan Pajajaran terjadi pada
tahun 1579 atau 58 tahun setelah Prabu Siliwangi wafat. Berarti Prabu Siliwangi
tidak pernah mengalami keruntuhan Kerajaan yang telah dipersatukannya. Raja
yang mengalami kehancuran Kerajaan Pajajaran adalah Prabu Raga Mulya yang
merupakan keturunan kelima Prabu Siliwangi atau janggawareng[6] nya Prabu
Siliwangi. Sementara Prabu Raga Mulya sendiri gugur dalam perang mempertahankan
kedaulatan negerinya dari agresi Banten. Jadi, raja Pajajaran terakhir ini
memang nga-hyang, namun bukan menjadi maung sebagaimana diyakini masyarakat
Sunda selama ini melainkan gugur di medan tempur. Dari serangkaian bukti
sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa mitos penjelmaan Prabu Siliwangi dan
sisa-sisa prajurit Pajajaran menjadi harimau hanya sekedar mitos dan bukan
fakta sejarah.
Bila bukan fakta
sejarah, darimana sebenarnya mitos maung yang selalu melekat pada kisah
Siliwangi dan Pajajaran itu berasal? Pertanyaan ini dapat menemukan titik
terang bila meninjau laporan ekspedisi seorang peneliti Belanda, Scipio, kepada
Gubernur Jenderal VOC, Joanes Camphuijs, mengenai jejak sejarah istana Kerajaan
Pajajaran di kawasan Pakuan (daerah Batutulis Bogor sekarang). Laporan
penelitian yang ditulis pada tanggal 23 Desember 1687 tersebut berbunyi “dat
hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers
bewaakt ent bewaart wort”, yang artinya: bahwa istana tersebut terutama sekali
tempat duduk yang ditinggikan untuk raja “Jawa” Pajajaran sekarang masih
berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau. Bahkan kabarnya
salah satu anggota tim ekspedisi Scipio pun menjadi korban terkaman harimau
ketika sedang melakukan tugasnya.
Temuan lapangan
ekspedisi Scipio itu mengindikasikan bahwa kawasan Pakuan yang ratusan tahun
sebelumnya merupakan pusat kerajaan Pajajaran telah berubah menjadi sarang
harimau. Hal inilah yang menimbulkan mitos-mitos bernuansa mistis di kalangan
penduduk sekitar Pakuan mengenai hubungan antara keberadaan harimau dan
hilangnya Kerajaan Pajajaran. Berbasiskan pada laporan Scipio ini, dapat
disimpulkan bila mitos maung lahir karena adanya kekeliruan sebagian masyarakat
dalam menafsirkan realitas.
Sesungguhnya,
keberadaan harimau di pusat Kerajaan Pajajaran bukanlah hal yang aneh,
mengingat kawasan tersebut sudah tidak berpenghuni pasca ditinggalkan sebagian
besar penduduknya di penghujung masa kekuasaan Prabu Nilakendra—ratusan tahun
sebelum tim Scipio melakukan ekspedisi penelitian.[7] Sepeninggal para penduduk
dan petinggi kerajaan, wilayah Pakuan berangsur-angsur menjadi hutan. Bukanlah
suatu hal yang aneh bila akhirnya banyak harimau bercokol di kawasan yang telah
berubah rupa menjadi leuweung tersebut.
Kesimpulan
Mitos maung yang
dilekatkan pada sejarah Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran pun sudah
terpatahkan oleh serangkaian bukti dan catatan sejarah yang telah penulis
uraikan. Memang sebagai sebuah sistem simbol, maung telah melekat pada
kebudayaan masyarakat Sunda. Simbol dan mitos maung juga menyimpan filosofi
serta berfungsi sebagai sistem pengetahuan masyarakat berkaitan dengan
lingkungan alam. Hal demikian tentu harus kita apresiasi sebagai sebuah
kearifan lokal masyarakat Sunda.
Namun sebagai sebuah
fakta sejarah, identifikasi maung sebagai jelmaan Prabu Siliwangi dan
pengikutnya merupakan kekeliruan dalam menafsirkan sejarah. Hal inilah yang
perlu diluruskan agar generasi berikutnya, khususnya generasi baru etnis Sunda,
tidak memiliki persepsi yang keliru dengan menganggap mitos maung Siliwangi
sebagai realitas sejarah.
Kekeliruan mitos maung
hanya salah satu dari sekian banyak ”pembengkokkan” sejarah di negeri ini yang
perlu diluruskan. Hendaknya kita jangan takut menerima realitas sejarah yang
mungkin berlawanan dengan keyakinan kita selama ini, karena sebuah bangsa yang
tidak takut melihat kebenaran masa lalu dan berani memperbaikinya demi
melangkah menuju masa depan akan menjelma menjadi bangsa yang memiliki
kepribadian tangguh.
http://wisbenbae.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment